EKONOMI ISLAM KONTEMPORER



  1. A.   Pendahuluan

Dalam perkembangannya, ekonomi merupakan hal yang sangat penting dari individu kelompok ataupun Negara. Di saat krisis ekonomi dunia yang terjadi beberapa waktu lalu ekonomi islam muncul di saat perekonomian modern lambat dalam menghadirkan solusi atas problematika ekonomi kontemporer Bahkan oleh kalangan tertentu menganggap bahwa perekonomian neoklasik dianggap telah mati. Dan dalam persoalan yang terjadi  pada saat ini sistem kapitalis barat telah gagal menyelesaikan persoalan kemanusiaan,  sosial  ekonomi suatu Negara. Setelah itu timbul perdebatan tentang ekonomi islam itu sendiri dan menjadikannnya sebagai ekonomi yang tanpa riba’

  1. B.   Pembahasan

 

  1. Terminologi Ekonomi Islam

Ekonomi Islam, menurut para pembangun dan pendukungnya, dibangun  di  atas,  atau  setidaknya  diwarnai,  oleh  prinsip-prinsip relijius,  berorientasi  dunia  dan  akhirat.  Dalam  tataran  paradigm seperti  ini,  para  ekonom  muslim  masih  dalam  satu  kata,  atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti. (Adiwarman  Karim, 2002: 13)

Mayoritas para ekonom Muslim sepakat  mengenai dasar pilar  atau fondasi filosofis sistem ekonomi  Islam:  Tauhid,  Khilafah,  Ibadah,  dan  Takaful. ( Aslam Haneef, 1995:2)  Khurshid  Ahmad  menambahkan:  Rububiyyah  dan  Tazkiyah ,  serta  Mas’uliyyah (accountability) . Namun ketika dipertanyakan lebih lanjut: apa dan bagaimana ekonomi Islam itu? Di sinilah terjadi perbedaan, sehingga ada yang membagi mazhab ekonomi Islam itu menjadi 3 yaitu;  mazhab  Baqir  al-Sadr,  mazhab  mainstream,  dan  mazhab alternatif-kritis .  Namun  sayang  pengembangan  pemikiran  ketiga mazhab ini belum begitu gencar, kecuali mazhab mainstream, dan nampaknya masih menunggu pemikiran cerdas dan kreatif dari para pendukungnya untuk mengembangkanya. Ada beberapa ekonomi muslim yang mendefinisikan ekonomi islam tersebut antara lain:

Menurut SM.Hasanuzzaman dalam ”Definition of Islamic Economic” sebagaimana yang dikutip oleh Dawam Raharjo adalah ”Pengetahuan dan penerapan perintah-perintah dan tata cara yang ditetapkan oleh syari’at dengan tujuan mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan penggunaan sumberdaya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban kepada Allah dan Masyarakat (Dawam Raharjo, 1997:6).

Berbeda dengan Hasanuzzaman, Nejatullah Siddiqie melihat ekonomi Islam hanya sebagai tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada zamannya dimana dalam upaya ini mereka dibantu oleh al-Qur’an dan Sunnah yang disertai dengan argumentasi dan pengalaman yang empiris (Nejatullah Siddiqie ,1992).

Sementara menurut Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari maslah-masalah ekonomi rakyat yang berazaskan norma dan nilai-nilai Islam (MA.Mannan,1993).

Pada bagian lain Louis Cantori dalam Chapra (2001) mengatakan, Ekonomi Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk memformulasikan suatu ilmu ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan masyarakat yang tidak mengakui individualisme yang berlebih-lebihan sebagaimana dalam ekonomi klasik (Umar Chapra, 2001).

Pada konteks yang sama dalam hal ini Chapra, melihat ekonomi islam bukan hanya sekedar tanggapan pemikir, tapi merupakan cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahtaraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka dan sejalan dengan syari’ah islam tanpa membatasi kreativitas individu ataupun menciptakan suatu ekonomi makro atau ekologis (Umar Chapra,1996).

Pengertian di atas pada dasarnya berangkat dari persoalan-persolan manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani maupun rohani yang berangkat dari personal individu maupun khalayak orang banyak  ataupun masyarakat, sehingga mewujudkan kesejahtraan bagi individu dan masyarakat dalam pengertian terakhir yang diungkapkan oleh chapra  mengakomodasikanakan prasyarat dan pandangan hidup islam serta sebagai ilmu social yang tentu saja terdapat nilai dan moralnya.

Meskipun demikian, ekonomi Islam belakangan ini diminati banyak orang, dan seringkali mendapat hujatan dan kritikan sebagai sistem ekonomi yang tidak berdiri pada akar sejarah yang jelas, karena dianggap hanya perilaku keberagamaan masyarakat yang terjalin dalam luapan emosi sesaat dan sebagai bagian dari fenomena masyarakat moderen. Joseph Alois Schumpheter (1883-1950) misalnya yang telah memutarbalikkan sejarah dengan menghilangkan peran dan kontribusi tokoh Islam dalam perkembangan sejarah dan bangunan ekonomi dunia. Dalam History of Economic Analysis, yang dipublikasikan isterinya pada tahun 1954, Schumpheter memulai kajian ekonomi dari pemikiran ekonomi Yunani kuno hingga pemikiran – pemikiran ekonomi berkembang semasa hidupnya. Tidak hanya dari Schumpheter juga banyak sarjana barat lain yang ikut-ikutan diantaranya adalah, Eric Roll dalam A History of Economic Thought (1956) Spengler dan Allen dalam Essays in Economic Thought : Aristotle to Marshall (1960) yang mengasumsikan The Dark Age melanda seluruh dunia, sepuluh tahun sesudahnya muncul kembali Hendry Spiegel dalam The Growth of Economic Thought (1971) yang sama sekali tidak menyinggung kontribusi khazanah intlektual Islam abad pertengahan, Robert Eklund dan Robert Hebert dalam A History of Econ omic Theory and Method (1975) yang melakukan survey menyeluruh sejarah ekonomi, namun tidak menyentuh sama sekali pemikiran ekonomi Arab (Islam). Pada sepuluh tahun berikutnya kembali muncul penerus generasinya, Harry Landreth dan david Colander dalam The History of Economic Theory (1989) yang menganalisis sejarah ekonomi sejak abad ke XII namun juga tidak mereferensikan kaitan Arab dengan Latin (Arif Hutoro, 2007: 28-29).

Namun demikian,ekonomi Islam merupakan ajaran dari syari’at islam oleh karena itu setiap muslim harus mengimaninya.

¢OèO y7»oYù=yèy_ 4’n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ

Artinya:” Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.” (QS. Al Jatsiyah: 18)

Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan  masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi). C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran menerangkan bahwa Alquran memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali.Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara lain,  1.Tijarah, 2. Bai’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. dinar, 8. dirham, 9. qismah 10. dharb/mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13.Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15.Fadhlillah 17. akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20. waraq (mata uang).

Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga  menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.

 ( عليكم بالتجارة فإن فيها تسعة أعشار الرزق)( رواه احمد)

“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu   rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)

 (ان أطيب الكسب  كسب التجار)) رواه بيهقي(

”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan  kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya.  Selain dalam kitab-kitab  fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.

Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia)  pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana  IAIN Medan,  bahwa 1/3 ajaran Islam tentang muamalah.

Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam itu cukup maju dan berkembang. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan :

“Ibnu Khaldun has a wide range  of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and trade, property and prosperity, etc.  He discussses the various  stages through which societies pass in economics progress. We also get the basic idea embodied in the backward-sloping supply curve of labour”  ( M. Nejatullah Shiddiqy, 1976: 261).

(Artinya, “Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan/Supply and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur).” Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus.

(Ibnu Khaldun  discovered  a great number  of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered  the virtue and the necessity  of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated  a theory  of population before Malthus and insisted  on the role  of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation…”.) (Ibnu Khaldun, 1971: 1105-1118).

(Artinya, “Ibnu Khaldun telah  menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia  menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk  membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…:”).

Ekonomi Islam di masa lampau telah berkembang dengan begitu pesatnya.Tetapi sangat disayangkan, ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam sejarah dan mengalami kebekuan ( stagnasi ). Ummat Islam tertinggal  dan terpuruk dalam bidang ekonomi Sehingga  masuklah kolonialisme barat dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori islam menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan.

Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim). Prof. Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi mengatakan dalam buku  ”Muslim Economic Thinking”, sebagai berikut

“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for  a thousand years  could not have been unaccompanied  by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century  to Tusi and Waliullah  we get a contiunity of serious  discussion on taxation,  government expenditure,  home economics, money  and exchange, division of labour, monopoly, price control,  etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics (M Nejatullah Shiddqy, 1976: 264).

Artinya, “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah  kita memiliki kesinambungan dari serentetan  pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh  yang diberikan atas   khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.

Beberapa perbedaan antara  bank yang bersifat kapitalis dengan bank yang bersistem Syari’ah antara lain:

Bank kapitalis

Bank syari’ah

1.Pemilik Saham 1. DPS
2.Moneter 2. Sektor Riel
3. Bunga 3. Tanpa bunga (profit)
4. Bisnisnya bias halal atau haram 4. Bisnisnya halal
5. Profit untuk individu 5. Profit untuk individu dan sosial
6.  Pihak Asing 6. kesejahtraan Rakyat
  1. Perbankan  Syariah di Indonesia

Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah’ mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.( UU RI NO.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Bab 1 Pasal 1)

Dasar hukum dari syariah tersebut adalah Al Quran ,  Surrah  Al-baqarah ayat 275:

šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù’tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ ”Ï%©!$# çmäܬ6y‚tFtƒ ß`»sÜø‹¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr’Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìø‹t7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§‘ 4‘ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y™ ÿ¼çnãøBr&ur ’n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9’ré’sù Ü=»ysô¹r& ͑$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ

 Artinya:”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[ (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al-baqarah: 275)

Di Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan  syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas.

Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa­nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.

Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi  dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.

Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melak­ukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kred­it, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlang­sung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 mil­yard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).

Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.

Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang  konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain  bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.

Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba.

C.Kesimpulan

Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang sempurna (syumul) diantaranya adalah Mu’amallah  iqtisodiyah yang berlandaskan pada Al Qur’an, As Sunah dan ijtihad para ulama. Ajaran Islam mengutamakan syari’ah dalam berbagai macam bentuk kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis lainnya tanpa mengambil riba sedikitpun atau dengan sistem bagi hasil. Dan keharusan umat Islam untuk mengikuti syari’ah tersebut dan meninggalkan ekonomi konvensioanal.

Daftar pustaka

http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=87:rekonstruksi-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-menggugat-anakronisme-sejarah-mainstream-ekonomi&catid=39:kontekstualita-volume-24-nomor-1-juni-2009&Itemid=56

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab4.html

Al- Quranul karim

(Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking,  A Survey of Contemporary Literature, dalam buku  Studies in Islamic Economics, International Centre for Research

in Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah  and The Islamic Foundation, United Kingdom,  1976, hlm. 261.)

Leave a comment